BAB
III
REFERENSI
DAN INFERENSI
RESUME
Diajukan
untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pragmatik
Semester
4
Dosen
Pengampuh
M.
Bayu Firmansyah, M.Pd
Disusun
Oleh :
Alfa
Julia (18188201008)
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
PEDAGOGI DAN PSIKOLOGI
ANGKATAN
18 A
UNIVERSITAS
PGRI WIRANEGARA
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan 67118
PEMAKAIAN REFERENSI DAN
PEMAKAIAN ATRIBUTIF
Frasa nomina tidak tentu dapat dipakai untuk mengenali suatu entitas yang
ada secara fisik., tetapi ungkapan-ungkapan itu juga dapat dipakai untuk
menjelaskan entitas-entitas sejauh yang kita ketahui. Kata ‘seseorang’ dapat
diganti dengan ‘siapa pun’. Inilah yang kadangkala disebut dengan pemakaian atributif, yang berarti
‘siapa saja/ apa saja yang sesuai dengan urainnya’. Pemakaian atribut itu
berbeda dengan pemakaian referesial, dimana
saya biasanya memiliki seseorang di dalam pemikiran saya.
Suatu perbedaan yang sama dapat ditemukan pada frase nomina tertentu. Ungkapan-ungkapan
itu sendiri tidak dapat diperlakukan seperti memiliki referensi (seperti yang
sering diasumsikan dalam perlakuan semantik), tetapi ditanamkan
(diinvestasikan) atau tidak ditanamkan fungsi refensial di dalam sebuah konteks
oleh seorang penutur atau penulis.
Penutur sering mengajak kita berasumsi, melalui pemakaian atributif, bahwa kita
dapat mengenali apa yang sedang mereka bicarakan, bahkan jika entitas atau
orang yang dideskripsikan mungkin tidak ada. Sebagian anggota yang terkenal
dari kelompok itu adalah dongeng gigi dan Santa Claus.
NAMA DAN REFEREN
Versi referensi yang sedang disajikan di sini adalah referensi yang
didalmnya ada suatu ‘maskud dasar untuk mengenali’ dan suau kerja sama
‘pengenalan tujuan’ di lapangan. Proses iini tidak hanya membtuhkan kerja
antara seorang penutur dan seorang pendengar; proses ini tampaknya berfungsi,
dalam istilah-istilah kaidah, antara seluruh anggota masyarakat yan memiliki
secara bersama-sama kaidah bahwa ungkapan-ungkapan pengacauan hanya dapat
menunjuk pada entitas-entitas yang sangat khusus. Asumsi ini mungkin
mengarahkan kita untuk memikirkan bahwa suatu nama atau nama diri seperti
‘Shakespeare’ hanya dapat dipakai untuk mengenali seseorang yang khusus saja,
dan suatu ungkapan yang mengandung suatu kata benda umum / biasa, seperti
‘Sandwich keju’, hanya dapat dipakai untuk mengenali sesuatu yang khusus saja. Keyakinan ini salah. Suatu
pandangan referensi pragmatik secara benar membolehkan kita melihat bagaimana
seseorang dapat diidentifikasi melalui ungkapan, ‘Sandwich keju’, dan suatu
benda / barang dapat diidentifikasi melalui nama, ‘Shakespeare’.
Hubungan pragmatik antara nama diri dengan objek-objek yang akan
diasosiasikan secara konvensional, di dalam suatu masyarakat yang didefinisikan
secara sosio-kultural, dengan nama-nama itu. Pemakaian suatu nama diri secara
referensial untuk mengenali objek apa pun yang sedemikian mengajak pendengar
untuk membuat kesimpulan yang diharapkan (seperti contoh, dari nama penulis
terhadap buku oleh penulis itu) dan dari sini menunjukkan dirinya sendiri untuk
menjadi satu anggota masyarakat yang sama sebagai penutur.
PERANAN KO-TEKS
Kemampuan mengenali referen itu telah dibantu oleh materi linguistik, atau ko-teks, yang menyertai ungkapan
pengacauan itu. Apabila muncul sebagai suatu judul, ‘Brazil’ merupakan suatu
ungkapan pengacauan dan memenangkan piala dunia’ merupakan bagian dari ko-teks
itu. Ko-teks dengan jelas membatasi rentangan interpretasi yang mungkin yang
kita miliki terhadap suatu kata seperti ‘Brazilia’. Ungkapan pengacauan sebenarnya
memberikan suatu rentangan referensi,
yaitu sejumlah referensi yang memungkinkan.
Suatu ko-teks adalah sekedar suatu bagian lingkungan linguistik di mana
ungkapan pengacauan dipakai. Lingkungan fisik, atau konteks, mungkin lebih mudah dikenali karena memiliki pengaruh yang
kuat tentang bagaimana ungkapan pengacauan itu harus diinterpretasikan. Konteks
fisik sebuah restoran, dan bahkan mungkin kaidah-kaidah bicara dari orang –
orang yang bekerja di sana, mungkkin penting sekali terhdap interpretasi.
Referen secara sederhana bukan merupakan hubungan antara arti suatu kata
atau frasa dengan suatu objek atau orang di dunia ini. Referensi adalah suatu
tindakan sosial, dimana penutur berasumsi bahwa kata atau frasa yang dipilih
untuk mengenali suatu objek atau orang akan ditafsirkan sebagai yang dimaksud
penutur.
REFERENSI ANAFORIK
Sebagian besar dari percakapan dan penulisan kita, kita harus mengawasi /
mencatat siapa atau apa yang sedang kita bicarakan lebih banyak dari satu
kalimat pada suatu saat. Dalam istilah-istilah teknis, ungkapan-ungkapan kedua
atau ungkapan-ungkapan berikutnya disebut Anafor
dan ungkapan awal disebut Anteseden.
Adalah hal yang menarik memikirkan tentang referensi anaforik sebagai suatu
proses kesinambungan untuk mengenali secara benar entitas yang sama seperti
ditunjukkan oleh anteseden. Dalam beberapa kasus, bahwa suatu asumsi membuat
perbedaan sedikit terhadap suatu penafsiran, tetapu dalam kasus itu dimana
beberapa perubahan atau akibat diekspresikan, referensi anaforik harus
ditafsirkan secara beda.
Kata ganti ‘nya’ digunakan dahulu dan kata ganti itu sulit diiterpretasikan
sehingga frasa nomina lengkap disajikan. Pola ini secara teknis dikenal sebagai
katafora, dan lebih tidak umum
dibanding dengan anafora. Jika suatu penafsiran mengharuskan kita untuk
mengenali suatu entitas, seperti dalam ‘masaklah selama tiga menit’, dan tidak
ada ungkapan linguistik yang ada, penafsiran ini disebut Anafor Zero , atau Elipis. Kegunaan
anafor zero sebagai suatu alat untuk menetapkan referensi secara jelas
menciptakan suatu harapan yang memungkinkan seorang pendengar mampu
menyimpulkan siapa atau apa yang dimaksudkan penutur untuk dikenali. Penafsiran
ini juga merupakan kasus nyata lain dari lebih banyak yang disampaikan daripada
yang dikatakan.
Pendengar juga diharapkan untuk membuat suatu jenis referensi yang lebih
khusus apabila ungkapan-ungkapan anaforik tidak terikat dihubungkan secara
linguistik dengan anteseden mereka.
Daftar Pustaka
Yule, George. 2014, Pragmatik. Yogyakarta : Celeban Timur UH
III/548