Wednesday, November 27, 2019

BERBAHASA SECARA KOMUNIKATIF DAN SANTUN


BAB X
BERBAHASA SECARA KOMUNIKATIF DAN SANTUN

RESUME
Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia

Semester 3

Dosen Pengampuh
M. Bayu Firmansyah, M.Pd

  
Disusun Oleh :
Alfa Julia (18188201008)


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
ANGKATAN 18 A
STKIP–STIT PGRI PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan 67118

A. PENGGUNAAN BAHASA
Menggunakan bahasa tidak cukup hanya merangkai bunyi, kata, kalimat, paragraf, atau bahkan wacana. Berkomunikasi dengan merangkaikan bunyi barulah sebagai dari penggunaan bahasa yang disebut dengan istilahh locutionary act (Austin, 1978) atau utterence act (searle, 1987). Di dalam tindak lokusi itulah terkandung pesan. Pesan yang terkandung di dalam tindak lokusi itu disebut illocutionary act (Austin , 1978) atau proposisional act (Searle, 1987). Pendapat ini untuk mengakomodasi adanya pesan yang tidak disampaikan melalui rangkaian bunyi tetapi disembunyikan di balik rangkaian bunyi (dibalik tindak lokusi).

Berbahasa secara komunikatif adalah cara menggunakan bahasa berdasarkan fungsi-fungsi komunikasi bahasa dengan memperhatikan konteks pemakainya.

B. KEGIATAN BERKOMUNIKASI
Bagi seorang penutur atau penulis agar dapat berkomunikasi dengan baik perlu “meng-encode” gagasan menggunakan bahasa. Ketika mengemas gagasan, seseorang harus memperhatikan beberapa hal (Hymes, 1989), yaitu :
1)   Situation : Keadaan yang melingkupi terjadinya peristiwa komunikasi .
2)   Participant : Siapa orang yang ikut terlibat dalam peristiwa komunikasi.
3)   Ends : Apa yang ingin dicapai melalui komunikasi.
4)   Addresee : Orang yang diajak berkomunikasi.
5)   Keys : Pokok persoalan yang menjadi kunci pembicaraan.
6)   Intruments : Segala hal yang ada di seputar pembicara yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kelancaran pembicara.
7)   Norms : Kaidah yang harus diikuti pleh pembicara.
8)   Genre : Aneka ragam bahasa yang sesuai dengan situasi komunikasi.
Semua komponen itu harus diperhatikan dalam berkomunikasi agar proses encode gagasan dapat dikomunkasikan secara baik kepada pendengar atau pembaca.

Faktor yang sering menyebabkan terjadinya penyimpangan penyampaian pesan antara lain:
a.   Topik prmbicaraan tidak dipilih secara terfokus.
b.   Gagasan dari topik yang dipilih tiidak ditata secara sistematis.
c.   Alur pikiran tidak ditata secara logis.
d.   Pemakaian bahasa tidak dikembangkan secara kreatif, dan
e.   Kurang terlatih mengungkapkan gagasan secara lisan maupun tertulis.

Ada faktor lain kebahasaan, tetapi selalu merasuk dalam pemakaian bahasa, seperti :
a.   Menyembunyikan maksud dengan tindak mengungkapkan secara langsung demi menjaga kesopanan.
b.   Mengalihkan pembicaraan demi menjaga perasaan mitra tutur.
c.   Membantah tuturan demi menghindari rasa malu, dan sebagaimananya.

C. FUNGSI KOMUNIKATIF BAHASA
Fungsi bahasa adalah cara bagaimana bahasa itu digunakan. Fungsi komunikatif bahasa adalah bagaimana cara bahasa iu digunakan untuk berkomunikasi. Fungsi komunikatif atau fungsi mikro adalah fungsi spesifik pemakaian bahasa dalam kegiatan berkomunikasi. Hal dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1. Fungsi informatif. Adalah bahasa dapat digunakan untuk menyampaikan infomrasi kepada pendengar atau pembaca. Fungsi informatif ini memiliki subfungsi seperti (1) untuk menjelaskan, (2) untuk membuat rincian, (3) untuk beralih topik, (4) untuk mengidentifikasi, (5) untuk menghubungkan dengan menggarisbawahi, (6) untuk menghubungkan secara analogi, dan sebagainya.
2. Fungsi transaksional. Adalah bahwa bahasa dipakai untuk mengadakan hubungan antara seseorang dengan orang lain.
3. Fungsi interaksional. Adalah bahwa bahasa dapat digunakan untuk saling berhubungan satu dengan yang lain dalam segala keperluan.
4. Fungsi komisif. Adalah bahwa bahasa dapat digunakan untuk menyatakan kesanggupan atau tidak sanggupana mengenai sesuatu dengan orang lain. Fungsi komisif ini memiliki subfungsi seperti (1) untuk menolak secar langsung, (2) untuk menolak secara tidak langsung, (3) untuk menyatakan kesanggupan, (4) untuk menyatakan ketidaksanggupan, (5) untuk menyetujui, dan sebagainya.
5. Fungsi direktif. Adalah bahwa dapat digunakan untuk mengajukan saran, membujuk, permintaan, meyakinkan orang lain dan sebagainya. Fungsi direktif ini memiliki subfungsi seperti : (1) untuk meyakinkan, (2) untuk memberi kritik, (3) untuk mengharapkan sesuatu, (4) untuk membujuk, (5) untuk memberi saran, (6) untuk memerintah secara tidak langsung, dan sebagainya.
6. Fungsi konatif. Adalahh bahwa bahasa dapat digunakan untuk mencairkan pembicaraan antara penutut dengan mitra tutur. Fungsi konatif memiliki subfungsi seperti (1) menanyakan konsidi, (2) untuk menyapa pada saat berpapasan dengan mitra tutur, dan sebagainya.
7. Fungsi ekspresif. Adalah bahwa bahasa dpat digunakan untuk mengungkapkan perasaan, suasana hati, masalah pribadi. Fungsi ekspresif ini memiliki subfungsi seperti (1) untuk mengungkapkan kekecewaan, (2) menyatakan pendapat pribadi, (3) menyatakan sikap pribadi, (4) menyatakan pengalaman pribadi, dan sebagainya.
8. Fungsi regulatory. Adalah bahwa bahasa dapat digunakan untuk mengontrol sesuatu peristiwa.
9. Fungsi heuristik. Adalah bahwa bahasa dapat digunakan untuk mengenal lingkungan seperti anak kecil ingin mengenal sesuatu yang belum dikenal sebelumnya.
10. Fungsi intrumental. Adalah bahwa bahasa dapat digunakan untuk memanipulasi lingkungan sehingga terjadi sesuatu peristiwa.
11. Fungsi imajinatif. Adalah bahwa bahasa dapat digunakan untuk menciptakan ide-ide yang bersifat imajiner dan mengandung keindahan.

D. FAKTOR PENENTU KESANTUNAN
Faktor penentu kesaktuan adalah segala hal yang dapat memengaruhi pemakaian bahasa sebagai santun atau tidak santun. Aspek penentu kesatuan dalam bahasa verbal lisan, antara lain aspek intonasi, aspek nada bicara , faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Faktor penentu kesantunan yang dapat diidentifikasi dari bahasa verbal tulis, seperti pilihan kata yang berkaitan dengan nilai rasa, penjang pendeknya struktur kalimat, ucapan, gaya bahasa, dan sebagainya. Seperti sudah diuraikan di atas, kesantunan berbahasa dapat diidentifikasi faktor penentunya sebagai berikut :
a.  Menggunakan tuturan baik langsung biasanya terasa lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan yang diungkapkan secara langsung.
b. Pemakaian bahasa dengan kata-kata kias terasa lebih santun dibandingkan dengan pemakaian bahasa dengan kata-kata lugas.
c.  Unagkapan memakai gaya bahasa penghalus terasa lebih santun dibandingkan dengan ungkapan biasa.
d.  Tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan biasanya tuturan leboh santun.
e.  Tuturan yang dikatakan secara implisit biasanya lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang dikatakan secara eksplisit.

E. FAKTOR YANG DAPAT MENGGAGALKAN KOMUNIKASI
Banyak faktor yang menyebabkan komunikasi dapat gagal, antara lain.
1.  Mitra tutur tidak memiliki informasi lama sebagai dasar memahami informasi baru yang disampaikan penutur.
2.  Mitra tutur tidak tertarik dengan isi informasi yang disampaikan penutur.
3.  Mitra tutur tidak berkenan dengan cara menyampaikan infomrasi si penutur.
4.  Apa yang diinginkan memang tidak ada atau tidak dimiliki oleh mitra tutur.
5.  Mitra tutur tidak memahami yang dimaksud oleh penutur.
6.  Jika menjawab pertanyaan, mitra tutur justru melanggar kode etik.

F. FAKTOR KEBAHASAAN SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN
Faktor yang menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa ditentukan oleh dua hal, yaitu faktor kebahasaan, dan faktor non-kebahasaan. Faktor kebahasaan verbal yang dapat menentukan kesatuan dapat dideskripsikan sebagai berikut : pemakaian diksi, pemakaian bahasa, peribahasa, perumpamaan.

G. PRINSIP KESATUAN DAN PRINSIP KERJA SAMA DALAM BERKOMUNIKASI
Hasil penelitian Brown dan Levinson (1978) membuktikan bahwa kesatuan berkaitan dengan nosi “wajah negatif” dann “wajah positif”. Penelitian Brown dan Levinson di atas, Asim Gunawan (1993) dalam penelitiannya berjudul “Kesatuan Direktif di dalam Bahasa Indonesia antara Beberapa Kelompok Etnik Di Jakarta” membuktikan bahwa (a) kesantunan merupakan properti ujaran, (b) santun tidaknya suatu ujaran ditentukan oleh pendengar atau pembaca, dan (c) kesantunan berkaitan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi.

H. NILAI BUDAYA SEBAGAI PENDUKUNG KESANTUNAN DAN KEKOMUNIKATIFAN BERBAHASA
Dengan sikap rendah hati, berbagai sikaplain akan tumbuh dan berkembang dalam diri seseorang, seperti tenggang rasa, rasa malu, menjaga perasaan, rasa hormat, rukun, mau mengalah, mau berkorban, “angon wayah”. Semua itu merupakan nilai yang mampu mendukung kesantunan berbahasa seseorang.


DAFTAR PUSTAKA
Pranowo. 2015, Teori Belajar Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Friday, November 22, 2019

PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA


BAB IX
PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

RESUME
Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia

Semester 3

Dosen Pengampuh
M. Bayu Firmansyah, M.Pd

  
Disusun Oleh :
Alfa Julia (18188201008)


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
ANGKATAN 18 A
STKIP–STIT PGRI PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan 67118

A. LATAR BELAKANG PBK
Istilah komunikatif dalam Pengajaran Bahasa (PB) muncul pertama kali dalam makalah Willkins (1972) dengan judul Grammatical, Situational and Notional Syllabus yang disampaikan dalam konferensi Linguistik Terapan di Copenhage. Sejak itu kepopuleran Pengajaran Bahasa secara Komunikatif (PBK) menyebar ke seluruh penjuru dunia dan mampu menggoyahkan konsep pengajaran bahasa yang dikembangkan oleh kaum Struktural.
Munculnya PBK mendapat sambutan hangat ahli PB karena dipandang bahwa :
a. PBK mampu mengubah citra PB yang selalu berorientasi pada kaidah ketatabahasaan yang dikembangkan kaum Struktural yang dianggap telah gagal mengajarkan bahasa sesuai dengan fungsinya.
b. PBK mampu memberikan paradigmashito yang sangat mendasar serta secara radikal memberikan warna baru terhdap proses belajar bahasa.
c. PBK mampu menjawab dua pertanyaan pokok dalam pengajaran bahasa yaitu apakah yang dipelajari, dan bagaimana bahasa harus dipelajari (Das, 1985).

B. KOMPETENSI KOMINKATIF
Istilah kompetensi Chomsky (1965) diartikan sebagai pengetahuan pembicaraan atau pendengar terhdap bahasanya (Chomsky, 1965 dalam Canale and Swain, 1980). Dengan kata lain kompetensi adalah apa yang diketahui oleh si pemakai bahasa. Pendapat Chomsky ini kemudian meluas dan merambah ke berbagai arah dan menimbulkan pro-kontra.

Kompetensi menurut Hymes (1971) ditafsirkan sebagai pengetahuan si pembicara mengenai kaidah kegramatikalan ditambah dengan apa yang ditindakkan oleh pembicara. Sejalan dengan pendapat Hymes adalah pendapat Terral (1977) bahwa setiap pembelajaran dapat memahami inti-inti pokok yang dikatakan oleh penutur asli kepadanya dalam situasi komunikasi nyata dan dapat beresponsi sedemikian rupa sehingga penutur asli menginterpretasikan respon tersebut dengan sedikit atau tanpa upaya dan tanpa kesalahan yang membingungkan yang dapat mengganggu komunikasi secara drastis .

Kompetensi dapat diartikan sebagai penguasaan sistem dan aturan bahasa yang benar-benar dihayati, yang memungkinkan kita mengenali struktur lahir dan struktur batin untuk dapat membedakan kalimat benar dan kalimat salam dan mengerti kalimat yang belum pernah didengar sebelumnya.

C. PENDEKATAN KOMUNIKATIF
Anthony (1963) menyatakan bahwa pendekatan adalam seperangkat asumsi yang saling berhubungan yang menyangkut hakikat bahasa, pengajaran bahasa, dan belajar bahasa. Aural-oral dapat dikatakan sebagai pendekatan karena memiliki asumsi tentang bahasa sebagai berikut :
a. Bahasa sebagai lambang bunyi yang bermakna dan bersifat alamiah,
b. Setiap bahasa memiliki struktur secara khas, dan
c. Struktur bahasa dapat ditemukan dan dideskripsikan secara sistematis.

Jika komuniatif dipandang sebagai suatu pendekatan dalam PB, apakah asumsi-asumsi teoriitisnya? Jika pendapat Das (1985) dapat diterima sebagai salah satu alternatif asumsi teori komunikatif, ia mengajukan asumsi teoritis yang berhubungan dengan hakikat bahasa dan bagaimana orang mempelajari bahasa. Asumsi tersebut adalah :
a. Bahasa adalah seperangkat kaidah yang harus dikuasai oleh pembelajar.
b. Bahasa adalah kaidah tata bahasa yang menentukan bagaimana kalimat harus disusun dan dapat mewadahi makna.
c. Pembelajaran harus memiliki sejumlah kata agar dapat menyusun berbagai variasi kalimat.
d. Jika pembelajar telah dapat menguasai kaidah ketatabahasaan, ia akan dapat menggunakan bahasa dalam berbagai kegiatan komunikasi.
e. Kaidah ketatabahasaan, baik secara sadar maupun ambang sadar dapat dipelajari secara induktif maupun secara deduktif.
f. Berbagai pengetahuan mengenai kaidah ketatabahasaan baik secara sadar maupun ambang sadar diinternalisasikan sebalum pengetahuan kaidah tersebut digunakan untuk berkomunikasi.
g. Kaidah ketatabahasaan dipelajari dan diinternalisasikan secara berurutan dalam waktu ataupun pada waktu yang berbeda.

Asumsi teoritis di atas jika diamati seperti terdapat dua versi asumsi yaitu pertama asumsi yang menekankan komunikasi sebagai tujuan belajar bahasa dan asumsi kedua menekankan komunikasi sebagau produk belajar bahasa.

D. METODE KOMUNIKATIF
Metode adalah rancangan mneyeluruh untuk menyajikan secara sistematis materi bahasa sehingga tidak ada bagian-bagian yang yang saling bertentangan karena semua rancangan telah didasarkan pada satu pendekatan tertentu (Anthony, 1963). Anthony tidak menyinggung masalah desain secara eksplisit sedangkan Richards secara eksplisit memasukkan desain sebagai komponen metode. Desain didalamnya mengandung unsur :
a. Suatu pengertian isi bahasa, spesifikasi seleksi dan organisasi,
b. Spesifikasi peranan pembelajar,
c. Spesifikasi peranan guru, dan
d. Spesifikasi peranan materi.
Prosedur merupakan deskripsi teknik dan tahap dalam sistem pengajaran. Jika kita mengacu teori Richards and Rodgers, metode komunikatif didalamnya harus terkandung elemen pendekatan komunikatif, desain komuikatif serta prosedur pengajaran komunikatif.
E. SILABUS KOMUNIKATIF
Silabus yang bersifat analitis tidak mementingkan analisis sistem bahasa dal am kepingan-kepingan, tetapi mementingkan tujuan seperti apa yang ingin dicapai oleh pembelajar serta tidak bahasa yang bagaimana yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Ada beberapa penyederhanaan fungsi komunikatif bahasa yang dapat digunakan untuk penyusunan silabus.
a. Wilkins (1973, 1976 dalam Kaswanti, 1987) mengklasifikasi fungsi komunikatif bahasa sebagai berikut :
1)   Modality
2)   Moral discipline and evaluation
3)   Rational inquiry and exposition
4)   Suasion
5)   Argument
6)   Personal emotions, dan
7)   Interpersonal relations

b. Finnochiaro (1977) mengklasifikasi fungsi komunikatif bahasa sebagai berikut :
1)   Personal
2)   Interpersonal
3)   Directive
4)   Referensial, dan
5)   Imaginative

c. Blundell, Higgens dan Middlemise (1987) mengklasifikasi fungsi komunikatif bahasa sebagai berikut :
1)   Informational, attitudinal dan active
2)   Social formulas
3)   Pelumas komunikasi (berupa partikel pementing)
4)  Informasi kebahasaan (instrumental, regulatory, representational, interactional, personal, heuristic dan imaginative)

Silabus komunikatif harus mengandung komponen-komponen sebagai berikut :
1)   Terdapat perumasan tujuan secara jelas.
2)   Terdapat seting yang jelas baik berupa aspek fisik maupun seting sosial.
3)   Terdapat peranan pembelajar
4)   Tergambar peristiwa komunikatif yang menujukkan peranan pembelajar.
5)   Tergambar fungsi bahasa yang diperlukan pembelajar dalam bahasa itu.
6)   Terdapat nosi atau apakah yang diperlukan pembelajar untuk dapat mengatakan sesuatu.
7)   Keterampilan merajut wacana bersama.
8)   Terdapat variasi bahasa sasaran yang diperlukan pembelajar.
9)   Isi ketatatabahasaan yang diperlukan.
10) Isi kosakata yang diperlukan.

F. KEBARUAN PBK
Periodisasi sejara perkembangan PB dapat digolongkan ke dalam 4 periode (Stern, 1986) yaitu:
1.   Periode pertama pada dekade 1880-1920 ditandai dengan metode langsung.
2.   Periode kedua pada dekade 1920-1940 ditandai dengan metode kompromi, reading method, Basic English, Modern Foreign Language Study.
3.   Periode ketiga pada dekade 1940-1950 ditandai dengan pendekatan Linguistik terhadap PB, American Army Method, dan Intensive Languange Teaching; dekade 1950-1960 ditandai Audiolingual di Amerika dan Audiovisual di Prancis dan Inggris, Laboratorium bahasa serta ketenaran Psycholinguistic; dekade 1960-1970 teori tingkah laku Audiolingual dipertentangkan dengan beljaar secara kognitif; impact teori Chomsky terhadap Sosiolonguistik; metode penelitian dan metode baru.
4.   Periode keempat pada dekade 1970-1980 ditandai dengan pudarnya konsep metode sebelumnya dan beralih pada metode baru; pada dekade 1980-an ditandai dengan pendekatan komunikatif yang lahir dari beberapa konsep teori.

DAFTAR PUSTAKA
Pranowo. 2015, Teori Belajar Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Thursday, November 7, 2019

ANALISIS WACANA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA


BAB VIII
ANALISIS WACANA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

RESUME
Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia

Semester 3

Dosen Pengampuh
M. Bayu Firmansyah, M.Pd


Disusun Oleh :
Alfa Julia (18188201008)


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
ANGKATAN 18 A
STKIP–STIT PGRI PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan 67118

A. ANALISIS PEMAKAIAN BAHASA
Mulai tahun 1994 Kurikulum Bahasa Indonesia telah secara eksplisit menyebutkan pendekatan komunikatif sebagai rancangan penyusunan yang notabene pengejaran bahasa Indonesia telah difokuskan pada fungsi komunikatif bahasa sebagai jiwa dari pragmatik. Sampai dengan KTSP 2006 pun unsur kekomunikatifan sebagai pendekatan tidak berubah. Pragmatik adalah studi bahasa dari sudut pemakaiannya atau bahasa dalam pemakainnya (laguage in use) (Levinson, 1983).

Analisis Wacana sebagai studi bahasa yang didasarkan pada pendekatan Pragmatik berarti mengkaji wacana bahasa dalam pemakaiannya berdasarkan konteks situasinya. Wacana yaitu suatu kontruksi yang terdiri tas kalimat yang satu diikuti oleh kalimat lain, yang merupakan suatu keutuhan kontrksi dan makna (Samsuri, 1986). Analisis wacana pada dasarnya ingin menganalisis dan menginterpretasi pesan yang dimaksud pembicara tahu penulis dengan cara merekontruksi teks sebagai produk ujaran/tulisan kepada proses ujaran/tulisan sehingga diketahui segala konteks yang mendukung wacana pada saat diujarkan/dituliskan.

B. PEMAHAMAN TEKS
Pada waktu kita menganalisis wacana sesungguhnya yang dianalisis adalah sebuah teks. Ada 7 syarat kewacanaan suatu teks (Samsuri, 1986) yaitu (a) kohesi adalah komponen satu berhubungan dengan komponen yang lain, (b)  koherensi yaitu cara bagaimana komponen-komponen wacana yang berupa konfigurasi konsep dan hubungan menjadi relevan dan saling mengikat, (c) intersionalitas yaitu sikap penghasil wacana agar perangkat kejadian-kejadian membentuk sarana teks yang bersifat kohesif maupun koheren dalam melaksanakan keingingann penghasil, (d) akseptabilitas sutu wacana menunjukkan seberapa besar keberterimaan wacana bagi penerima wacana, (e) informativitas yaitu sebagai besar suatu wacana berkadar informasi bagi penerima wacana, (f) situasionalitas yaitu faktor-faktor yang menyebabkan suatu wacana relevan dengan situasi yang sedang berlangsung, dan (g) keinterwacanaan yaitu segala hal yan berurusan dengan faktor-faktor yang menyebabkan penggunaan wacana yang satu bergantung pada pengetahuan tentang satu wacana atau lebih yang ditemui sebelumnya.

Kewacaan suatu teks akan membantu peneliti untuk menginterpretasi siapa, kapan, situasi semacam apa serta apa maksud wacana tersebut. Alat interpretasi wacana sesungguhnya merupakan alat pembangunan pada sat menghasilkan wacana.

C. PERANAN KONTEKS SITUASI DALAM INTERPRETASI WACANA
Dalam kaitan dengan hal ini, perlu diperhatikan adalah (1) referensi pada pandangan lama adalah hubungan antara kata dengan bendanya, (2) praanggapan adalah apa yang dianggap oleh pembicara menjadi dasar pemahaman bersama; implikatur digunakan dengan maksud apakah pembicara dapat membayangkan, mengingatkan atau mengartikan secara berbeda yang dinyatakan oleh pembicara secara literal (Trice, 1975 dalam Brown 1985; 31); inferensi yaitu alat untuk mengambil kesimpulan, (3) konteks situasi yaitu segala situasi yang dapat melingkupi suatu ujaran dan dapat menentukan maksud, (4) ko-teks adalah kalimat yang sebelum atau sesudah ujaran untuk membantu interpretasi suatu ujaran. dan (5) interpretasi lokal adalah interpretasi berupa prinsip yang mengganjurkan kepada pendengar untuk menyusun konteks yang lebih luas daripada yang diperlukan untuk sampai pada.

D. TOPIK DAN REPRESENTASI ISI WACANA
Topik dalam suatu wacana tidak sama dengan topik dalam suatu kalimat. Terkadang topik yang dibicarakan masih berhubungan, tetapi pembicara sering mengangkat permasalahan pembicaraan sendiri-sendiri. Hal semacam ini disebut on a topic. Dalam analisis wacana bila menghadapi percakapan dua orang atau lebih yang harus diperhatikan adalah saat terjadinya perubahan dari topik pembicaraan ditandai dengan paragraf sedang dalam percakapan dinamakan paraton (perubahan pola infomasi).

E. KOHESI DAN KOHERENSI DALAM WACANA
Apabila suatu kalimat memiliki keruntutan hubungan struktur antar kalimat, kalimat tersebut disebut kohesif. Jadi, kohesif adalah keruntutan hubungan antar kalimat. Kohesi juga terdapat dalam suatu kalimat/sepotong ujaran. Hubungan kekohesifan suatu ujaran yang masih berada dalam suatu teks dinamakan endofora.

Pertalian mata rantai (proposisi) satu dengan yang lain dalam suatu wacana ada beberapa jenis, yaitu: a) dengan hal penghubung dan b) tanpa menggunakan kata penguhubung. Hasil pertalinya juga bisa terjadi dalam beberapa bentuk : 1) kohesif sekaligus koheren, 2) kohesif tidak koheren, 3) tidak kohesif tetapi koheren. Cara lain untuk memahami isi informasi dan melihat tingkat kekoherensian suatu wacana, yaitu 1) prinsip analogi, 2) interpretasi lokal, 3) ciri umum konteks, 4) keteraturan kerangka struktur wacana, dan 5) ciri-ciri tetap suatu organisasi struktur informasi.

F. IMPLIKASI AW DALAM PBI
Kegiatan pengajaran Bahasa setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: a) proses pengajaran dan b) tujuan yang akan dicapai.  Proses pengajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi antar patisipan, yaitu antara guru dengan murid. Guru menyampaikan pesan berupa materi pelajaran kepada murid dalam bentuk wacana. Bahasa yang dipakai guru bukanlah Bahasa yang bebas tetapi Bahasa yang di bangun dengan mempergunakan alat pembangun wacana agar mudah dimengerti murid.
            Murid sebagai partisipan yang akan menangkap pesan yang disampaikan oleh guru dengan cara menginterpretasi ujaran guru. Mereka mencoba memahami maksud guru dengan  cara merekonstruksi ujaran pikirannya. Murid hanya akan mmpu mengkap maksud yang terdapat dalam ujaran secara tepat apabila mampu menghadirkan kembali alat-alat pembangun wacana yang dipakai oleh guru menjadi alat interpretasi.
            Segi lain dalam pengajaran Bahasa yang terpenting adalah tujuan yang akan dicapai. Guru merumuskan tujuan pengajaran untuk murid, dengan demikian pada bagian ini tindakan guru mengatas namakan murid. Murid sebagai orang yang belajar seharusnya mereka mengerti apa yang harus dicapai agar segala kegiatan yang dilakukan senantiasa mengarah pada tujuan serta tidak ada perasaan terpakasa dalam berbuat. Di Indonesia, tugas ini diwakili oleh guru (c.q. Depdikbud) sehingga tujuan belajar pembelaja telah disipkan dalam bentuk paket sedang murid tinggal meraihnya. Apakah sesuai dengan keinginan belajar murid?
           Lepas dari sesuai tdaknya dengan kehendak murid (diandaikan sesuai), tujuan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah adalah agar pembelajar teramil brbahasa baik secara lisan atau tertulis. Berdasarkan rumusan tujuan tersebut dapat ditarik kesimpulan agar murid dapat berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia sacara langsung atau tidak langsung.
            Dalam rangka mencapai tujuan tersebut analisis wacana memiliki peranan yang sangat besar. Karena kegiatan ini dilakukan di kelas, indikaor yang dapat ditunjuk adalah: 1) kurikulum berorientasi pada tujuan, 2) murid berkomunikasi dengan guru, murid akan mencapai tujuan, maka analisis wacana berperan sangat besar dalam pengajaran keterampilan menyimak dan membaca.
            Menyimak dimaksud agar murid dapat mendengar dan mengeri bunyi Bahasa yang diucapkan oleh guru, kemudian merangkap pesan. Keterampilan menyimak merupakan keterampilan reseptif lisan maka aktivitas murid berpusat ada teinga dan pikiran. Telinga menangkap bunyi, sedang pikiran merekonstruksi wacana yang diungkapkan oleh guru untuk menangkap pesan yang terkandung di dalamnya.
            Kegiatan menganalisis wacana pada hakikatnya menganalisis ujaran melalui proses berfikir. Ujaran mengandung pesan untuk disamapaikan kepada murid, murid menangkap bunyi melalui telinga kemudian mengolahnya dalam pikiran, untuk memperoleh pesan. Hal ini dilakukan dengan jalan mengenali jenis Bahasa yang dipergunakan oleh guru melalui rekonstrasi bangunan (Bahasa) yang yang dibuat oleh guru.
            Dengan demikian, apabila dikembalikan bahawa menyimak merupakan kegiatan berbahasa secara reseptif dalam berkomunikasi pendengar/pembaca tidak mungkin akan mennagkap pesan tanpa mengenali aspek-aspek konteks situasi, koherensi, implikatur, inferensi, referensi dan seterusnya.
            Membaca dimaksudkan untuk melafalkan bunyi yang tertulis kemudian mengkap gagasan yang terkandung dalam rangkaian bunyi. Tulisan sebagai produk berbahasa dimaksudkan untuk menyampaikan pesan kepada pembaca secara tidak langsung. Pembaca berusaha mewujudkan kembali proses penulisan melalui alat-alat interpretasi dengan maksud untuk menangkap pesan yang terkandung dalam tulisan.
Kalau hakikat membaca adalah melafalakan bunyi dengan maksud untuk menangkap pesan, analisis wacana berperan dalam usaha menagkap pesan. Pesan penulis terkandung dalam bahsa tulis terususun secara sistematis berdasarkan kaidah Bahasa dan tata tulis, setidaknya menurut kemampuan penulis, pesan bsa termuat secara hierarkis anatara pesan pokok, pesan penjelas, ilustrasi dan contoh contoh. Wujud lisan tidak terlepas dari presepsi penlis terhadap objek/masalahyang dihadapi, dengan demikian pembaca tidak mungkin hanya melafalkan tulisan kemudian dapat mennagkap pesan.
            Aktivitas membaca kiranya juga tersusun secara hierarkhis pula, yatu dari melafalkan bunyu (membaca tulisan), melafalakan bunyi untuk menangkap makna tersurat melafalkan bunyi untuk menangkap makna tersirat, melafalkan bunyi untuk menangkap latar belakang budaya penulis mengapa ia memiliki presepsi tertentu terhadap objek atau masalah sehingga berbeda dengan prsepsi penulis lain. Pada hierarki terakhir itulah analisis wacana diperlukan. Pembaca harus mampu mereknstruksi kembali kohesi, koherensi, ko-teks, implikatur, inferensi, praanggapan dan sebagainya yang mungkin melingkupi proses terjadinya tulisan.
Rekonstruksi terjadinya tulisan perlu diungkapkan kembali karena pesan sesungguhnya yang terkandung dalam sebuah bacaan tidak sekadar yang tertulis tetapi rangkaian maknaya yang ada dibalik makna yang tersirat itulah pesan yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA
Pranowo. 2015, Teori Belajar Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Belajar